Ir. Soekarno1 (6 Juni 1901-21 Juni 1970) adalah Presiden Indonesia pertama yang menjabat pada periode 1945-1966. Ia memainkan peranan penting untuk memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda. Ia adalah penggali Pancasila. Ia adalah Proklamator Kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohammad Hatta) yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945.
Ia menerbitkan Surat Perintah 11 Maret 1966 Supersemar yang kontroversial itu, yang konon, antara lain isinya adalah menugaskan Letnan Jenderal Soeharto untuk mengamankan dan menjaga kewibawaannya. Tetapi Supersemar tersebut disalahgunakan oleh Letnan Jenderal Soeharto untuk merongrong kewibawaannya dengan jalan menuduhnya ikut mendalangi Gerakan 30 September. Tuduhan itu menyebabkan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang anggotanya telah diganti dengan orang yang pro Soeharto, mengalihkan kepresidenan kepada Soeharto.
BUNG Karno sejak kecil digembleng laku
kebatinan Jawa. Bersama beberapa nama terkenal, sejak usia muda Bung
Karno mengkaji, mendalami dan melakoni kebatinan. Dalam perjalanan
hidup yang penuh ketidakadilan justru menjadi semangat untuk bangkit
dan mencari sumber keadilan yang hakiki. Perjalanan laku yang sangat
tinggi dilakukannya demi mencari hakekat hidup.
Berawal dari RM Said yang belajar dari
desa Mojogedang Karang Pandan, Karang Anyar Jawa Tengah. Beliau pernah
berguru kepada seorang pertapa wanita yang bernama Nyai Karang. Ketika
berjuang beliau melawan Belanda, RM Mas Said menggunakan markasnya di
desa Nglaroha. Didampingi senopati yang sekaligus gurunya (Kudono
Warso), semakin hari ilmu jaya-kawijayan RM Said semakin tinggi.
Ilmunya kemudian diturunkan kepada anak
cucunyya yang meneruskan perjuangannya melawan penjajah. Salah satu
cucunya adalah sahabat Kyai Santri (KPH Djoyo Koesoemo). Selain
diangkat sebagai penasehat pribadi Sunan Paku Buwono IV ,Kyai Santri
diakui sebagai teman dalam mengasah ilmu sastra dan kebatinan. Tidaklah
mengherankan jika kemudian Paku Buwono IV di kemudian hari melahirkan
serat Centini, falsafah hidup, sebagai ensiklopedinya orang Jawa.
Perjuangan melawan Belanda,
mengakibatkan Kyai Santri dikejar-kejar. Akhirnya beliau memilih keluar
Kraton dan keliling tanah Jawa. Menghindari kejaran Belanda, dengan
berkeliling Tanah Jawa, tiga kali sambil memperdalam ilmu kebatinannya.
Kyai Santri berkawan pula dengan Ronggowarsito, Mangkunegoro IV dalam
mengkaji dan tukar kawruh Jawa. Pada perjalanan akhirnya beliau memilih
desa Giri Jaya di lereng Gunung Salak, Sukabumi, Jawa Barat sebagai
tempat perhentian terakhir. Di sanalah beliau tinggal dengan didampingi
dua orang istri beliau.
Perjalanan spiritualnya mampu
menghadirkan Kanjeng Ratu Kidul sebagai guru beliau, Eyang Lawu (Kaki
Semar) dan Leluhur lainnya sebagai seorang Guru. Murid-murid Kyai
Santri cukup banyak, selalu dididik bagimana menjadi seorang pemimpin
yang baik. Pendidikan yang berdasar pada budaya Jawa asli, dimana
nurani sebagai Way of Life dan pikir sebagai alat untuk memimpin. Di
antara murid beliau adalah Paku Buwono (PB) IV, Mangku Negoro (MN) IV,
PB VI, PB IX , PB X, MN VII, HOS Cokroaminoto, Dr Wahidin Sudiro Husodo
dan yang terakhir adalah Bung Karno. Beliau hidup hingga usia 159
tahun dan meninggal pada tahun 1929 Masehi di desa Giri Jaya Sukabumi.
Murid-murid beliau adalah pejuang
sejati, pemimpin nasional, pujangga dan sekaligus negarawan. Ilmu-ilmu
beliau sudah mencapai tataran tingkat tinggi dan mencapai alam
makrifat. Manusia harus jadi “Manungso sejati, sejatine manungso”, di
mana nurani sebagai titik dan sumber tuntunan bagi kehidupan, sedangkan
pikir sebagai alat untuk menjalankan tuntunan Illahi tersebut. Beliau
selalu mengajarkan bagaimana manusia mampu kembali menjadi manusia yang
sebenarnya.
Dengan menyelaraskan batin, pikiran,
ucapan dan perbuatannya, manusia akan menjadi manusia menurut kodrat
Illahi. Sukma merupakan percikan Illahi, sebagai utusan Sang Pencipta
(Ha- Hananira, wahanane Hyang). Pada hakehatnya bila manusia telah
mampu menyelaraskan dan menyamakan antara batin, pikiran, ucapan dan
perbuatannya, manusia tersebut telah mencapai alam makrifat. Manusia
tersebut mampu berada posisi “Jumbuhing kawulo gusti”. Berarti manusia
itu mampu menjadi seorang pemimpin (gusti = bagusing ati).
Dengan laku tapabrata yang sebenarnya
seperti di atas, manusia kembali pada asalnya, hal ini dalam budaya
Jawa disebut “Sangkan paraning dumadi”. Hakekat kehidupan manusia sama
dengan ciptaan lainnya, menurut hukum ekosistem. Dalam budaya Jawa
dikenal dengan “Cakra manggilingan”. Bila manusia mampu meletakkan
batin, pikiran, ucapan dan perbuatannya sama, maka tidak ada lagi
tuntunan lain kecuali tuntunan Sang Pencipta lewat batin/nuraninya.
Swara dalam batin itulah yang disebut Swara Sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar