Gedung Sate
27
Juli 1920. Hari ini, 89 tahun silam, dilakukan peletakan batu pertama
proyek pembangunan Gedung Sate di Bandung. Ketika selesai dibangun empat
tahun kemudian, gedung tersebut segera menjadi salah satu bangunan
termegah di Hindia Belanda dan hingga sekarang menjadi landmark paling
menonjol dari kota Bandung. Peletakan batu pertama pembangunan gedung
dilakukan oleh Nona Johanna Catherina Coops, putri sulung walikota
Bandung B. Coops, dan Nona Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur
Jenderal Batavia.
angunan
gedung ini dirancang arsitek Ir J. Berger dari Landsgeboundienst, dinas
pembangunan gedung-gedung pemerintah Negeri Belanda. Dibutuhkan tenaga
hingga 2.000 orang pekerja. Di antara ribuan pekerja itu, terdapat lebih
kurang 150 Cina Konghu atau Kanton, tukang kayu dan pemahat batu yang
trampil di negerinya. Arsitek Belanda, Dr. Hendrik Petrus Berlage,
menyebut bahwa Gedung Sate beserta rancangan kompleks Pusat Perkantoran
Instansi Pemerintahan Sipil Hindia Belanda di Bandung merupakan sebuah
karya besar. Sementara Coor Passchier dan Jan Wittenberg, dua arsitek
Belanda yang menginventarisir bangunan kolonial di Bandung, menyebut
Gedung Sate sebagai sebagai bangunan monumental yang anggun mempesona,
serta memiliki gaya arsitektur yang unik, dan gigantik.
Gedung
Sate sendiri sebenarnya hanya bagian kecil atau sekira 5% dari "Kompleks
Pusat Perkantoran Insatansi Pemerintah Sipil" Hindia Belanda yang
menempati lahan Bandung Utara seluas 27.000 meter persegi. Oleh penduduk
tempo dulu "Gedong Sate" dinamai "Gedong Bebe" yang kemudian lebih
populer dengan "Gedung Sate" karena di puncak menara gedung tersebut
terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen berbentuk jambu air.
Apa
yang sekarang dikenal sebagai Gedung Sate pada mulanya diniatkan
sebagai bangunan Pusat Pemerintahan atau Gouvernments Bedrijven (GB)
yang bersumbu lurus ke tengah-tengah Gunung Tangkuban Perahu.
Disebut
Gouvernments Bedrijven karena gedung tersebut pada mulanya diniatkan
sebagai pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda sekaligus tempat
berkantor Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Pembangunan gedung tersebut
dimungkinkan setelah pemerintah Hindia Belanda mengambil keputusan untuk
memindahkan pusat pemerintahan Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung.
Keputusan
untuk menjadikan Bandung sebagai ibukota pemerintahan Hindia Belanda
diambil pada 1916. Pilihan itu diambil oleh Koninkelijk der Nederlanden
(Negeri Belanda) yang telah melakukan berbagai penelitian di
daerah-daerah lain, terutama di pulau Jawa. Penelitian itu dipicu oleh
hasil riset yang dilakukan HF Tillema, seorang ahli kesehatan
lingkungan, yang menemukan bahwa bahwa kota-kota di pantai utara pulau
Jawa keadaannya kurang sehat. Dipenuhi oleh rawa-rawa yang rentan
penyakit. Hawanya panas dan lembab, akibatnya orang susah bernafas,
banyak berkeringat, membuat badan cepat lelah.
Pilihan pun jatuh
ke Bandung yang secara geografis berada di daerah pegunungan dengan
udara yang sejuk dan lebih segar. Keputusan itu diambil pada masa
pemerintahan Gubernur Jenderal van Limburg Stirum.
Di tempat ini
pulalah, pada bulan-bulan pertama kemerdekaan, terjadi pertempuran hebat
antara kaum Republiken yang ingin memertahankan gedung ini dari serbuan
tentara Sekutu yang diperkuat oleh tentara Gurkha. Tak cuma itu Gedung
Sate ini pernah juga dijadikan pusat pemerintahan Negara Pasundan pada
masa pemerintahan RIS.
Gedung Sate tidak hanya menjadi bukti
otentik dari riwayat kota Bandung dalam percaturan kehidupan kolonial.
Gedung sate pernah pula menjadi lokus di mana kemerdekaan dirayakan
dengan patriotik sekaligus di sana pula pernah bercokol satu
pemerintahan yang menjadi pengejawantahan gagasan federalisme di
Indonesia.Jika hari ini Gedung Sate tak hanya menjadi kantor Gubernur
Jawa Barat, tetapi juga menjadi landmark kota Bandung, Gedung Sate
menerima status istimewa yang memang telah menjadi haknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar